Tokoh
NADIA : Kelas X-4 SMU Patria
Supel,
pandai bergaul, tapi kadang suka meledak-ledak
Rambut
sebahu. Mata bola pingpong
VERLITA : Kelas
XI IPS-4
Suka
pamer, meledak-ledak dan pendendam
BAIM : Kelas XI IPS-4
Imut
dan romantis, tapi pencemburu berat
BARA : Kuliah semester satu di Surabaya.
Cerdas,
tapi cenderung tertutup. Pandai menyimpan rahasia
1
Tengkyu ya,Say.....,”ucap Nadia begitu turun dari
mobil sedan yang dikendarai Baim. Baim tersenyum menganggukan kepala dan
melambaikan tangan membalas. “Jangan lupa, nanti malem,” lanjutunya
mengingatkan.
“Siap,
bos,” hormat Baim menggoda sambil
meletakkan tangannya seperti orang sedang upacara bendera.
Lalu
mobil sedan warna merah menyala itu meluncur meninggalkan rumah Nadia. Nadia
membuka gerbang dengan wajah secerah langit siang itu. Dan begitu ia membuka
pintu, Pony, si kucing berbulu putih halus kesayangannya, mengendus-endus kaki
menyambut kedatangannya.
Nadia
tersenyum lalu meraih Pony dan menggendongnya.
Akh,
setiap kali melihat Pony, Nadia jadi keingetan sama someone.
Pony adalah pemberiannya.
Someone itu adalah Bara.
Walaupun
sekarang Nadia sudah nggak jalan lagi sama Bara, tapi kenangannya masih
tersisa. Dan kenangan itu rasanya tidak akan pernah hilang dalam kehidupan
Nadia selagi Pony masih bersamanya.
Sebenarnya
Nadia sudah berusaha untuk melupakan masa lalunya bersama Bara. Semua yang
berhubungan sama Bara. Semua yang berhubungan dengan Bara, dari pakaian, foto
sampai pernak-pernik, Nadia sudah membuangnya jauh-jauh.
Tapi
untuk membuang Pony, rasanya Nadia nggak tega. Pony nggak bersalah kok. Nadia
sudah merawatnya dari usia Pony satu bulan.
Pernah
suatu ketika, Nesa dan Cecile, dua teman Nadia menyuruhnya untuk memberikan
Pony pada salah satu dari mereka. Ih, enak saja Gue yang susah-susah ngurusin,
begitu udah besar, dikasih ke mereka, batin Nadia nggak rela.
“Nggak
, gue nggak akan memberikan Pony pada
siapa pun,” tandas Nadia waktu itu. Dan memang terbukti,sampai sekarang Pony
masih aman bersamanya. Tidak ada yang berhak melarang Nadia bersama Pony.
Juga
Baim.
Baim?Hm,
walaupun sudah satu tahun pacaran dengan Baim, tapi sampai sekarang Baim tidak
pernah tahu asal usul Pony. Baim tahunya Pony itu kucing kesayangannya Nadia.
Tidak lebih dari itu.
“Kok
senyum-senyum sendiri, Non?” tanya Bik Onah jail. Nggak tahu datengnya dari
mana tiba-tiba nongol aja kayak jelangkung. Nadia meringis tanpa menjawab, lalu
melangkah hendak masuk ke kamarnya setelah menurunkan Pony dalam gendongan.
Pony
mengeong lalu pergi.
“Non,
tadi ada yang telepon,” lapor Bik Onah begitu Nadia hendak masuk kamar.
“Dari
siapa?” tanya Nadia tanpa rasa penasaran sedikit pun. Ia sudah bisa menebak. Biasanya yang suka nelepon pada siang hari
itu, kalo nggak Nesa pasti Cecile. Siapa lagi kalo bukan mereka berdua. Kalo
Baim sih jarang sekali nelepon lewat telepon rumah, pasti selalu lewat HP.
Kecuali kalo lagi nggak ada pulsa. Dan itu pun jarang banget terjadi. Pulsa di
HP-nya Baim selalu full. Bahkan kadang Baim suka mentransfer pulsa ke
Nadia. Hihihi.... matre ya? Nggak lah ya, namanya juga pacar. Apa sih yang nggak dilakukan buat
pacar?
“Aduh
dari siapa ya?”Bik Onah nyengir kebingungan sambil garuk-garuk kepala, seperti
orang ketombean.
Nadia
melotot. Entah sudah berapa ratus kali tuh pembantu di bilangin, kalo ada
telepon, tanya dari siapa, kalo perlu dicatet biar nggak lupa. Apa gunanya ada
buku memo disebelah pesawat telepon, kalo nggak buat nulis. Dasar Bik Onah sih
susah ingat gampang lupa!
“Makanya
kalo ada telepon tuh ditulis,” geram Nadia lalu masuk ke kamarnya dan langsung
membanting tubuh ke atas tempat tidur. Masalah telepon sudah tidak lagi ia
pedulikan. Biar saja kalo memang perlu, nanti juga tuh orang nelepon lagi
batinnya.
“Tapi
tadi Bibik sudah ngasih nomor telepon Non Nadia ke dia,” kata Bik Onah
melonggokan wajah di sela-sela pintu kamar Nadia yang terkuak sedikit.
“Hah?
Ngasih nomor telepon?” kaget Nadia, langsung bangkit dari tiduran dan membuka
pintu kamar menatap wajah Bik Onah di depannya dengan mata melotot.” Kok Bik
Onah ngasih nomor ke sembarang orang, sih?Ya ampun, Bik....!Kan Nadia udah
puluhan kali bilang, jangan suka ngasih nomor telepon ke sembarang orang,
gimana sih?Kalo yang minta itu orang jahat gimana?Nanti neror gue, terus nipu
gue, terus menghipnotis gue?Apa Bik Onah mau tanggung jawab?!” cerocos Nadia
meledak-ledak seperti petasan.
“Tapi...,”lirih
Bik Onah penuh rasa bersalah. Ia memang pernah dibilangin seperti itu sama
Nadia.
“Tapi
orang yang nelepon tadi maksa banget. Katanya dia bukan orang jahat.”
Nadia
tambah melotot geram.”Aduh,Bik!Mana ada sih orang jahat yang mau ngaku!”
“Iya,
tapi...”
“Udah,akh
“potong Nadia cepat. “Ngomong sama Bik Onah tuh sama aja ngomong sama tembok!”
“Tapi
Non,dia maksa minta,” Bik Onah tetap membela diri.
“Walaupun
minta, nggak usah di kasih, kalo Bik Onah nggak kenal,” potong Nadia sengit.
”Nggak tahu apa,kalo sekarang banyak penipuan!”
“Tapi...,”
kata Bik Onah lagi. Tiba-tiba ia ingat sesuatu.
“Apalagi?”
pelotot Nadia hendak menutup pintu kamar tapi nggak jadi, karena sebagian tubuh
Bik Onah ada di dalam. Kalo Nadia nekat nutup pintu, pasti kepala Bik Onah
bakalan putus. Ih, serem.
“Bibik
baru ingat, namanya Barak....,” seru Bik Onah semangat. Akhirnya ia ingat juga
nama si penelepon.
“HAH?!”
Nadia melotot
“Hah?”
Bik Onah ikut melotot latah. “Iya, Bibi baru inget. Namanya Barak....”
“Hah?”
Nadia bengong.
“Namanya Barak,” Bik Onah yakin.
“Barak?”
“Iya,”
Bik Onah mengangguk yakin.
“Barak?”
“iya
Barak,” Bik Onah manggut-manggut serius.
“Barak,Bik?Namanya
Barak?” pelotot Nadia
“Iya
Non,namanya Barak,” Bik Onah jadi kebingungan sendiri melihat Nadia yang
tiba-tiba jadi kayak orang aneh begitu. “Nggak salah lagi namanya Barak,” yakin
Bik Onah senang
Nadia
tersenyum. Tiba-tiba ia ingat seseorang dari masa lalunya.
“Bukan
Barak Bik, tapi Bara,” tandas Nadia dengan suara melemah.
“Tapi
Bibik dengernya Barak,” elak Bik Onah ngotot.
“Kalo
memang bener dia Bara....,” Nadia membayangkan sesuatu. “Dia itu mantan pacar
gue dulu sebelum Bibik kerja disini.”
“Oh....,”Bik
Onah membulatkan bibirnya seukuran donat kampung.
“Terus
dia nanya apa?” desak Nadia penasaran.
“Nggak
nanya apa-apa sih,cuman nanyain non Nadia ada apa nggak. Bibik bilang aja nggak
ada.”
“Terus....?”Nadia
semakin penasaran.
“Udah
itu aja.”
“Ya
udah,sana Bibik ke dapur lagi, masak yang enak.” Suruh Nadia sebelum menutup
pintu kamar.
“Masak
apalagi,Non?Kan Bibik udah selesai masaknya,” protes Bik Onah.
“Ya
udah pokokonya sana, mau masak apa kek terserah Bibik. Yang penting Bibik pergi
dan jangan ganggu gue, gue mau tidur ,” alasan Nadia supaya Bik Onah nggak
mengganggunya lagi.
Bik
Onah mengangguk lalu pergi
***
HP
di atas meja belajar berdering, ketika Nadia sedang merem-merem ayam di atas
tempat tidur membayangkan masa lalunya bersama Bara. Ia langsung bangun dan
meraih HP-nya dengan cepat. Ia berharap telepon dari Bara, soalnya kata Bik
Onah tadi Bara habis nelepon. Dan Bik Onah ngasih nomor telepon gue, batinnya.
Nomor
siapa ya? Pikir Nadia begitu melihat nomor yang muncul di sana. Nomor
asing dari telepon lokal. Sepertinya
nomor rumah atau wartel gitu dan Nadia sama sekali nggak mengenali. Semoga
bukan orang iseng, batinnya sambil memencet tombol ok.
“Hallo....”
Nggak
ada suara.
“Hallo...”
“Di...”
Ada suara berat dan bergetar.
Nadia
terkejut. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggil namanya dengan
sebutan “Di”. Bara! Masa lalu Nadia.
Entah dapat angin dari mana, tiba-tiba dia muncul begitu saja.
“BARA?!”
pekik Nadia nafsu.
“Ya...”
“H-hai,
Ba-Bara,” Tiba-tiba Nadia tergagap aneh.
“Halo,
Di apa kabar?” tanya Bara tenang dari seberang.
“Ba-Baik...”
“Hm...”
“Sedang
apa, Ra? Eh, maksud gue, sedang ada di mana?” tanya Nadia makin gugup sangking
senangnya Bara nelepon. Maklum udah lama banget mereka nggak hubungan.
“Gue
di Jakarta.”
“Oh,
ya?” kaget Nadia yang semestinya tidak
perlu, karena ketika yang dilihatnya tadi adalah nomor lokal daerah Jakarta.
Tapi begitulah Nadia. Kalo lagi senang, emosinya suka gak terkontrol
“Ya.”
“Liburan?”
tanya Nadia.
“Ya,
liburan .”
Jeda
beberapa saat.
“Elo,
eh kamu sendiri gimana kabarnya, Ra?” Nadia tersenyum kebiasaan ngomong elo gue
sama Baim.
“Baik.”
“Oh...”
Nadia manggut-manggut sembari mencari bahan obrolan yang nggak garing. Ada
sesuatu yang lain ketika mendengar suara berat Bara. Sesuatu yang selama ini
masih dia simpan baik-baik. Entahlah mungkin sesuatu ini adalah kerinduan.
Nadia sendiri
tidak bisa mengatakannya.
“Masih
boleh main ke rumah, Di?” tanya Bara ragu
“Oh,
boleh, boleh nggak ada yang ngelarang kok,” tanggap Nadia antusias. Setelah itu
Nadia berpikir, kok gue jadi agresif banget, ya?
“Ada
sesuatu yang ingin aku ceritakan ke kamu,” lirih Bara nyaris tak tedengar di
telinga Nadia, hingga Nadia harus menajamkan pendengarannya, dengan maenekan horn
ke telinga
“kapan
kamu mau dateng?” tanggap Nadia senang. Ia sama sekali nggak memikirkan bahwa
setelah Bara pergi ada Baim yang telah menggantikannya. Nadia lupa ada Baim.
“Mungkin
dua atau tiga hari, soalnya aku lagi banyak persoalan yanh harus diselesaikan
di Jakarta.”
“Lho...
katanya liburan, kok malah nyelesein persoalan?” goda Nadia mulai hilang rasa
grogi dan kikuknya.
“Sebenarnya nggak ada liburan,
tapi aku memang sengaja ambil libur sendiri,” jelas Bara.
“Oh...,” bibir Nadia membulat.
“Ya udah, nanti kalo aku mau
dateng, aku telepon ke HP kamu dulu.”
“Oh, kamu masih nyimpen nomorku?” pancing Nadia
“tadi aku minta ke pembantu kamu.”
Nadia tersenyum kecut. Pasti Bara sudah menghapus
nomornya sejak mereka nggak hubungan lagi. Makanya Bara nggak pernah nelepon
“Oke kalo gitu. Soryy ya, udah ganggu,” pamit Bara
sebelum menutup telepon.
“Akh enggak kok, aku malah seneng kamu telepon,” jawab
Nadia
Sambungan telepon pun berakhir.
Nadia tersenyum. Saat itulah ia tanpa sengaja melihat
foto dirinya dan Baim. Deg! Jantungnya seperti mau lepas.
***
Malam di luar sana teramat sangat cerah. Wajah bulan
tampak muncul sempurna. Tak ada awan yang menutupinya seperti malam kemarin.
Benar-benar terlihat bulat sempurna.
Nadia sudah siap-siap di ruang tengah, bolak-balik
kayak gosokan. Sampai-sampai mamanya bingung.
Pony mengeong di kakinya.
“Kamu ngapain sih, dari tadi mondar-mandir kayak
begitu?” tanya Mama.
“Biasa.... pasti lagi nungguin si prince charming-nya itu.” Celetuk Papa
menggoda.
“Ih, Papa sok tahu!” sewot Nadia.
Beberapa saat kemudian, suara mobil Baim terdengar.
Nadia langsung menghambur keluar sambil pamitan. Nggak sopan, memang pamitan ke
orangtua pakai teriak-teriak. Tapi itulah Nadia. Padahal mamanya udah berulang
kali nasihatin, kalo di rumah jangan jadi Tarzan kota.
Nadia tersenyum dan langsung masuk ke mobil Baim. Baim
menatap tajam Nadia sampai gadis itu salah tingkah.
“Ngapain, sih? Ngeliatin sampe kayak mau nelen gitu?” Nadia pura-pura sewot padahal senang diperhatiin
begitu.
“Wah, cewek gue cantik sekali malam ini,” kata Baim
menggoda sambil geleng-geleng kepala.
“Halah, garing banget gombalnya,” cibir Nadia.
“Udah akh, ayo jalan,” suruh Nadia
“Oke tuan putri.”
Nadia kembali mencibir.
Mobil melaju ke jalan raya yang ramai. Dan Baim
memencet tombol play di CD player mobil.
Lalu lagu “Jangan pernah Berubah” dari Marcel mengalun
merdu.
Masih ada
perasaan yang tak menentu di hati
Bila pernah
sorot mata yang kurasa berbeda
Janganlah
terjadi, yang slalu kutakutkan
Oh cintaku...
ku mau tetap kamu
Menjadi
kekasihku
Jangan pernah
berubah oh.... selamanya
Kan kujaga
dirimu
Seperti kapas
putih di hatiku
Takkan ku buat
noda....
“Gue paling nggak suka sama lagu ini, kesannya kayak
nggak percayaan gitu deh,” kata Nadia sambil mencari-cari CD lain di dalam dashboard. Untuk segera mengganti lagu itu. Bukan nggak suka sama
penyanyinya itu. “Tapi, nggak suka lirik lagunya.
Baim tersenyum. “Namanya juga lagu,” katanya “Tapi
lagu marcel gue paling demen, romantis gimana gitu,”
“Halah, sok romantis.”
“Kok, gitu? Gue kan emang orangnya romantis. Elo aja
nggak pernah mau nyadar punya pacar romantis,” kata Baim.
Nadia nggak komentar. Tangannya terus mencari CD lain
di dashboard mobil tapi nggak ketemu.
Mobil masuk ke halaman kafe. Baim memarkirnya di dekat
deretan mobil dekat pohon akasia yang batangnya besar-besar. Lalu turun dan
menggandeng tangan Nadia dengan mesra masuk ke kafe.
Baim berkata “sayang,gue mau kasih sesuatu ni bisa
pejam mata gak??.”
Apa sih, gak
usah pke pjam mata segla “kata Nadya menolak.”
Ayolah sayang
cumin sebentar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar