follow my twitter @devitaindahh ┐(‘⌣’┐) (┌’⌣’)┌ ┐(‘⌣’┐) (┌’⌣’)

Kamis, 19 Januari 2012

Novell


                                    Tokoh


NADIA   : Kelas X-4 SMU Patria
Supel, pandai bergaul, tapi kadang suka meledak-ledak
Rambut sebahu. Mata bola pingpong

VERLITA : Kelas XI IPS-4
Suka pamer, meledak-ledak dan pendendam

BAIM      : Kelas XI IPS-4
Imut dan romantis, tapi pencemburu berat

BARA      : Kuliah semester satu di Surabaya.
Cerdas, tapi cenderung tertutup. Pandai menyimpan rahasia

                                           1
Tengkyu ya,Say.....,”ucap Nadia begitu turun dari mobil sedan yang dikendarai Baim. Baim tersenyum menganggukan kepala dan melambaikan tangan membalas. “Jangan lupa, nanti malem,” lanjutunya mengingatkan.
“Siap,  bos,” hormat Baim menggoda sambil meletakkan tangannya seperti orang sedang upacara bendera.
Lalu mobil sedan warna merah menyala itu meluncur meninggalkan rumah Nadia. Nadia membuka gerbang dengan wajah secerah langit siang itu. Dan begitu ia membuka pintu, Pony, si kucing berbulu putih halus kesayangannya, mengendus-endus kaki menyambut kedatangannya.
Nadia tersenyum lalu meraih Pony dan menggendongnya.
Akh, setiap kali melihat Pony, Nadia jadi keingetan sama someone. Pony adalah pemberiannya.
Someone itu adalah Bara.
Walaupun sekarang Nadia sudah nggak jalan lagi sama Bara, tapi kenangannya masih tersisa. Dan kenangan itu rasanya tidak akan pernah hilang dalam kehidupan Nadia selagi Pony masih bersamanya.
Sebenarnya Nadia sudah berusaha untuk melupakan masa lalunya bersama Bara. Semua yang berhubungan sama Bara. Semua yang berhubungan dengan Bara, dari pakaian, foto sampai pernak-pernik, Nadia sudah membuangnya jauh-jauh.
Tapi untuk membuang Pony, rasanya Nadia nggak tega. Pony nggak bersalah kok. Nadia sudah merawatnya dari usia Pony satu bulan.
Pernah suatu ketika, Nesa dan Cecile, dua teman Nadia menyuruhnya untuk memberikan Pony pada salah satu dari mereka. Ih, enak saja Gue yang susah-susah ngurusin, begitu udah besar, dikasih ke mereka, batin Nadia nggak rela.
“Nggak , gue nggak akan memberikan  Pony pada siapa pun,” tandas Nadia waktu itu. Dan memang terbukti,sampai sekarang Pony masih aman bersamanya. Tidak ada yang berhak melarang Nadia bersama Pony.
Juga Baim.
Baim?Hm, walaupun sudah satu tahun pacaran dengan Baim, tapi sampai sekarang Baim tidak pernah tahu asal usul Pony. Baim tahunya Pony itu kucing kesayangannya Nadia. Tidak lebih dari itu.
“Kok senyum-senyum sendiri, Non?” tanya Bik Onah jail. Nggak tahu datengnya dari mana tiba-tiba nongol aja kayak jelangkung. Nadia meringis tanpa menjawab, lalu melangkah hendak masuk ke kamarnya setelah menurunkan Pony dalam gendongan.
Pony mengeong lalu pergi.
“Non, tadi ada yang telepon,” lapor Bik Onah begitu Nadia hendak masuk kamar.
“Dari siapa?” tanya Nadia tanpa rasa penasaran sedikit pun. Ia sudah bisa menebak.  Biasanya yang suka nelepon pada siang hari itu, kalo nggak Nesa pasti Cecile. Siapa lagi kalo bukan mereka berdua. Kalo Baim sih jarang sekali nelepon lewat telepon rumah, pasti selalu lewat HP. Kecuali kalo lagi nggak ada pulsa. Dan itu pun jarang banget terjadi. Pulsa di HP-nya Baim selalu full. Bahkan kadang Baim suka mentransfer pulsa ke Nadia. Hihihi.... matre ya? Nggak lah ya, namanya  juga pacar. Apa sih yang nggak dilakukan buat pacar?
“Aduh dari siapa ya?”Bik Onah nyengir kebingungan sambil garuk-garuk kepala, seperti orang ketombean.
Nadia melotot. Entah sudah berapa ratus kali tuh pembantu di bilangin, kalo ada telepon, tanya dari siapa, kalo perlu dicatet biar nggak lupa. Apa gunanya ada buku memo disebelah pesawat telepon, kalo nggak buat nulis. Dasar Bik Onah sih susah ingat gampang lupa!
“Makanya kalo ada telepon tuh ditulis,” geram Nadia lalu masuk ke kamarnya dan langsung membanting tubuh ke atas tempat tidur. Masalah telepon sudah tidak lagi ia pedulikan. Biar saja kalo memang perlu, nanti juga tuh orang nelepon lagi batinnya.
“Tapi tadi Bibik sudah ngasih nomor telepon Non Nadia ke dia,” kata Bik Onah melonggokan wajah di sela-sela pintu kamar Nadia yang terkuak sedikit.
“Hah? Ngasih nomor telepon?” kaget Nadia, langsung bangkit dari tiduran dan membuka pintu kamar menatap wajah Bik Onah di depannya dengan mata melotot.” Kok Bik Onah ngasih nomor ke sembarang orang, sih?Ya ampun, Bik....!Kan Nadia udah puluhan kali bilang, jangan suka ngasih nomor telepon ke sembarang orang, gimana sih?Kalo yang minta itu orang jahat gimana?Nanti neror gue, terus nipu gue, terus menghipnotis gue?Apa Bik Onah mau tanggung jawab?!” cerocos Nadia meledak-ledak seperti petasan.
“Tapi...,”lirih Bik Onah penuh rasa bersalah. Ia memang pernah dibilangin seperti itu sama Nadia.
“Tapi orang yang nelepon tadi maksa banget. Katanya dia bukan orang jahat.”
Nadia tambah melotot geram.”Aduh,Bik!Mana ada sih orang jahat yang mau ngaku!”
“Iya, tapi...”
“Udah,akh “potong Nadia cepat. “Ngomong sama Bik Onah tuh sama aja ngomong sama tembok!”
“Tapi Non,dia maksa minta,” Bik Onah tetap membela diri.
“Walaupun minta, nggak usah di kasih, kalo Bik Onah nggak kenal,” potong Nadia sengit. ”Nggak tahu apa,kalo sekarang banyak penipuan!”
“Tapi...,” kata Bik Onah lagi. Tiba-tiba ia ingat sesuatu.
“Apalagi?” pelotot Nadia hendak menutup pintu kamar tapi nggak jadi, karena sebagian tubuh Bik Onah ada di dalam. Kalo Nadia nekat nutup pintu, pasti kepala Bik Onah bakalan putus. Ih, serem.
“Bibik baru ingat, namanya Barak....,” seru Bik Onah semangat. Akhirnya ia ingat juga nama si penelepon.
“HAH?!” Nadia melotot
“Hah?” Bik Onah ikut melotot latah. “Iya, Bibi baru inget. Namanya Barak....”
“Hah?” Nadia bengong.
“Namanya  Barak,” Bik Onah yakin.
“Barak?”
“Iya,” Bik Onah mengangguk yakin.
“Barak?”
“iya Barak,” Bik Onah manggut-manggut serius.
“Barak,Bik?Namanya Barak?” pelotot Nadia
“Iya Non,namanya Barak,” Bik Onah jadi kebingungan sendiri melihat Nadia yang tiba-tiba jadi kayak orang aneh begitu. “Nggak salah lagi namanya Barak,” yakin Bik Onah senang
Nadia tersenyum. Tiba-tiba ia ingat seseorang dari masa lalunya.
“Bukan Barak Bik, tapi Bara,” tandas Nadia dengan suara melemah.
“Tapi Bibik dengernya Barak,” elak Bik Onah ngotot.
“Kalo memang bener dia Bara....,” Nadia membayangkan sesuatu. “Dia itu mantan pacar gue dulu sebelum Bibik kerja disini.”
“Oh....,”Bik Onah membulatkan bibirnya seukuran donat kampung.
“Terus dia nanya apa?” desak Nadia penasaran.
“Nggak nanya apa-apa sih,cuman nanyain non Nadia ada apa nggak. Bibik bilang aja nggak ada.”
“Terus....?”Nadia semakin penasaran.
“Udah itu aja.”
“Ya udah,sana Bibik ke dapur lagi, masak yang enak.” Suruh Nadia sebelum menutup pintu kamar.
“Masak apalagi,Non?Kan Bibik udah selesai masaknya,” protes Bik Onah.
“Ya udah pokokonya sana, mau masak apa kek terserah Bibik. Yang penting Bibik pergi dan jangan ganggu gue, gue mau tidur ,” alasan Nadia supaya Bik Onah nggak mengganggunya lagi.
Bik Onah mengangguk lalu pergi
                                              ***

HP di atas meja belajar berdering, ketika Nadia sedang merem-merem ayam di atas tempat tidur membayangkan masa lalunya bersama Bara. Ia langsung bangun dan meraih HP-nya dengan cepat. Ia berharap telepon dari Bara, soalnya kata Bik Onah tadi Bara habis nelepon. Dan Bik Onah ngasih nomor telepon gue, batinnya.
Nomor siapa ya? Pikir Nadia begitu melihat nomor yang muncul di sana. Nomor asing  dari telepon lokal. Sepertinya nomor rumah atau wartel gitu dan Nadia sama sekali nggak mengenali. Semoga bukan orang iseng, batinnya sambil memencet tombol ok.
“Hallo....”
Nggak ada suara.
“Hallo...”
“Di...” Ada suara berat dan bergetar.
Nadia terkejut. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggil namanya dengan sebutan “Di”. Bara!  Masa lalu Nadia. Entah dapat angin dari mana, tiba-tiba dia muncul begitu saja.
“BARA?!” pekik Nadia nafsu.
“Ya...”
“H-hai, Ba-Bara,” Tiba-tiba Nadia tergagap aneh.
“Halo, Di apa kabar?” tanya Bara tenang dari seberang.
“Ba-Baik...”
“Hm...”
“Sedang apa, Ra? Eh, maksud gue, sedang ada di mana?” tanya Nadia makin gugup sangking senangnya Bara nelepon. Maklum udah lama banget mereka nggak hubungan.
“Gue di Jakarta.”
“Oh, ya?”  kaget Nadia yang semestinya tidak perlu, karena ketika yang dilihatnya tadi adalah nomor lokal daerah Jakarta. Tapi begitulah Nadia. Kalo lagi senang, emosinya suka gak terkontrol
“Ya.”
“Liburan?” tanya Nadia.
“Ya, liburan .”
Jeda beberapa saat.
“Elo, eh kamu sendiri gimana kabarnya, Ra?” Nadia tersenyum kebiasaan ngomong elo gue sama Baim.
“Baik.”
“Oh...” Nadia manggut-manggut sembari mencari bahan obrolan yang nggak garing. Ada sesuatu yang lain ketika mendengar suara berat Bara. Sesuatu yang selama ini masih dia simpan baik-baik. Entahlah mungkin sesuatu ini adalah kerinduan.
Nadia sendiri tidak bisa mengatakannya.
“Masih boleh main ke rumah, Di?” tanya Bara ragu
“Oh, boleh, boleh nggak ada yang ngelarang kok,” tanggap Nadia antusias. Setelah itu Nadia berpikir, kok gue jadi agresif banget, ya?
“Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan ke kamu,” lirih Bara nyaris tak tedengar di telinga Nadia, hingga Nadia harus menajamkan pendengarannya, dengan maenekan horn ke telinga
“kapan kamu mau dateng?” tanggap Nadia senang. Ia sama sekali nggak memikirkan bahwa setelah Bara pergi ada Baim yang telah menggantikannya. Nadia lupa ada Baim.
“Mungkin dua atau tiga hari, soalnya aku lagi banyak persoalan yanh harus diselesaikan di Jakarta.”
“Lho... katanya liburan, kok malah nyelesein persoalan?” goda Nadia mulai hilang rasa grogi dan kikuknya.
              “Sebenarnya nggak ada liburan, tapi aku memang sengaja ambil libur sendiri,” jelas Bara.
“Oh...,” bibir Nadia membulat.
Ya udah, nanti kalo aku mau dateng, aku telepon ke HP kamu dulu.”
“Oh, kamu masih nyimpen nomorku?” pancing Nadia
“tadi aku minta ke pembantu kamu.”
Nadia tersenyum kecut. Pasti Bara sudah menghapus nomornya sejak mereka nggak hubungan lagi. Makanya Bara nggak pernah nelepon
“Oke kalo gitu. Soryy ya, udah ganggu,” pamit Bara sebelum menutup telepon.
“Akh enggak kok, aku malah seneng kamu telepon,” jawab Nadia
Sambungan telepon pun berakhir.
Nadia tersenyum. Saat itulah ia tanpa sengaja melihat foto dirinya dan Baim. Deg! Jantungnya seperti mau lepas.
                                             ***

Malam di luar sana teramat sangat cerah. Wajah bulan tampak muncul sempurna. Tak ada awan yang menutupinya seperti malam kemarin. Benar-benar terlihat bulat sempurna.
Nadia sudah siap-siap di ruang tengah, bolak-balik kayak gosokan. Sampai-sampai mamanya bingung.
Pony mengeong di kakinya.
“Kamu ngapain sih, dari tadi mondar-mandir kayak begitu?” tanya Mama.
“Biasa.... pasti lagi nungguin si prince  charming-nya itu.” Celetuk Papa menggoda.
“Ih, Papa sok tahu!” sewot Nadia.
Beberapa saat kemudian, suara mobil Baim terdengar. Nadia langsung menghambur keluar sambil pamitan. Nggak sopan, memang pamitan ke orangtua pakai teriak-teriak. Tapi itulah Nadia. Padahal mamanya udah berulang kali nasihatin, kalo di rumah jangan jadi Tarzan kota.
Nadia tersenyum dan langsung masuk ke mobil Baim. Baim menatap tajam Nadia sampai gadis itu salah tingkah.
“Ngapain, sih? Ngeliatin sampe kayak mau nelen gitu?” Nadia pura-pura sewot padahal senang diperhatiin begitu.
“Wah, cewek gue cantik sekali malam ini,” kata Baim menggoda sambil geleng-geleng kepala.
“Halah, garing banget gombalnya,” cibir Nadia.
“Udah akh, ayo jalan,” suruh Nadia
“Oke tuan putri.”
Nadia kembali mencibir.
Mobil melaju ke jalan raya yang ramai. Dan Baim memencet tombol play di CD player mobil.
Lalu lagu “Jangan pernah Berubah” dari Marcel mengalun merdu.

Masih ada perasaan yang tak menentu di hati
Bila pernah sorot mata yang kurasa berbeda
Janganlah terjadi, yang slalu kutakutkan
Oh cintaku... ku mau tetap kamu
Menjadi kekasihku
Jangan pernah berubah oh.... selamanya
Kan kujaga dirimu
Seperti kapas putih di hatiku
Takkan ku buat noda....

“Gue paling nggak suka sama lagu ini, kesannya kayak nggak percayaan gitu deh,” kata Nadia sambil mencari-cari CD lain di dalam dashboard. Untuk segera mengganti lagu itu. Bukan nggak suka sama penyanyinya itu. “Tapi, nggak suka lirik lagunya.
Baim tersenyum. “Namanya juga lagu,” katanya “Tapi lagu marcel gue paling demen, romantis gimana gitu,”
“Halah, sok romantis.”
“Kok, gitu? Gue kan emang orangnya romantis. Elo aja nggak pernah mau nyadar punya pacar romantis,” kata Baim.
Nadia nggak komentar. Tangannya terus mencari CD lain di dashboard mobil tapi nggak ketemu.
Mobil masuk ke halaman kafe. Baim memarkirnya di dekat deretan mobil dekat pohon akasia yang batangnya besar-besar. Lalu turun dan menggandeng tangan Nadia dengan mesra masuk ke kafe.
Baim berkata “sayang,gue mau kasih sesuatu ni bisa pejam mata gak??.”
Apa sih, gak usah pke pjam mata segla “kata Nadya menolak.”
Ayolah sayang cumin sebentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar